--- AHLAN WA SAHLAN, SELAMAT DATANG DI NIKAH.COM, KAMI HADIR SEBAGAI SAJIAN UNTUKMU YANG AKAN MENIKAH DAN TELAH MENIKAH, SERBA-SERBI DALAM KELUARGA DAN ANAK-ANAK ---

Minggu, September 28, 2008

Banyak Anak (Tetap) Banyak Rezeki

By Bayu Gautama

nikah.com, Sewaktu masih duduk di bangku kelas dua sekolah menengah pertama, saya sering termakan satu propaganda “keluarga kecil keluarga bahagia” dan “dua anak cukup, laki-laki perempuan sama saja”. Dan itu ternyata berbekas sampai tahun-tahun berikutnya. Meski juga dianggap belum layak menikah untuk ukuran anak masih berseragam putih abu-abu, namun satu tekad sudah tertanam dalam-dalam di dada ini kelak menikah nanti punya anak cukup dua saja, laki-laki perempuan sama saja karena keluarga kecil akan melahirkan kebahagiaan. Dua kesalahan berpikir yang entah siapa yang memulai dan menciptakannya serta motif apa dibalik propaganda tersebut, tapi bolehlah karena sempat menyesaki benak ini untuk ‘hanya’ punya keluarga kecil saja.

Di Perguruan tinggi, saat kemampuan berpikir jauh lebih meningkat (sebenarnya kemampuan berpikir tetap sama luasnya dengan ketika saya masih di sekolah dasar sekalipun, mungkin tepatnya kesempatan untuk memperluas cakrawala berpikir) seiring dengan pertumbuhan kedewasaan baik dewasa secara fisik yang ditandai dengan optimalisasi fungsi organ-organ reproduksi, selain perkembangan sel-sel otot tubuh yang sekaligus menandakan perbedaan pria dan wanita, dewasa secara psikologis, dimilikinya kemampuan untuk menyelesaikan masalah dan konflik-konflik yang terjadi dalam kehidupan, serta mampu menjalani hubungan interdependensi, dan dewasa secara sosial-ekonomi, ditampakkan dalam kemampuan seseorang untuk membiayai kebutuhan hidup yang layak. Maka makin terbukalah pemahaman-pemahaman baru bahwa apa yang telah selama ini bertengger di benak saya tentang keluarga kecil keluarga bahagia kemudian saya nilai sebagai kesalahan pertama, dan cukup dua anak laki perempuan sama saja, saya patok sebagai kesalahan kedua dari kebodohan berpikir saya. Kesalahan ketiga saya adalah tidak belajar dari orangtua sendiri (dan kebanyakan orangtua lainnya) yang kebanyakan jumlah anaknya tidak kurang dari lima atau rata-rata segitu.

Karena kemudian, dalam interaksi dan interelasi sehari-hari banyak saya temukan keluarga-keluarga yang lumayan bererot buntutnya tetap tenang meski mulut di kanan-kiri sering usil dengan pertanyaan-pertanyaan ‘nggak repot tuh’, ‘berapa sih gajinya, koq anak sampe delapan gituh’ atau juga pernyataan tidak berbobot seperti, ‘gue sih udah mati berdiri kali punya anak banyak, satu aja stress’. Celoteh-celoteh yang kemudian dianggap angin lalu oleh mereka yang memiliki banyak anak, tetapi tidak oleh saya. Lagi-lagi saya termakan oleh propaganda yang setelah saya pelajari nampaknya direkayasa sedemikian rupa bahwa banyak anak justru merepotkan, dan tidak berlaku lagi satu keyakinan orangtua kita dulu bahwa banyak anak banyak rezeki.

Untuk membuang keraguan itu, saya beranikan bertanya kepada salah seorang ustadz yang kebetulan anaknya sudah tidak bisa dibilang sedikit karena untuk mengingat mana anak ke lima ke enam-nya saja sudah garuk-garuk kepala, terlebih harus menghapal satu persatu tanggal kelahiran mereka. “wong manggil aja sering salah koq bapaknya itu” kata istrinya. Kemudian saya mendapatkan pelajaran baru lagi, kali ini sangat sederhana namun sarat makna. Dulu, cerita sang Ustadz, sewaktu anaknya masih dua mereka makan nasi dengan lauk pauk seadanya, kadang ikan, kadang tempe, ketemu daging atau ayam goreng alhamdulilaah seminggu sekali. Sekarang setelah anak delapan, ternyata nggak berubah menunya. “Coba ente pikir, berkurang ape bertambah rezeki ane” tantang si Ustadz itu. Saya pun ngeloyor pergi dengan pencerahan baru di benak saya, lagipula siapa yang berani jamin kalau anaknya cukup dua saja bertahun-tahun kemudian bisa makan ayam setiap hari … la wong rezeki itu sudah ada yang mbagi-bagi koq.

Anehnya, ini yang sampe sekarang saya dibuat pusing bagaimana meluruskan pandangan masyarakat, koq ya tidak sedikit masyarakat sekarang yang menganggap punya anak banyak semacam ‘satu keanehan’. Zaman sudah berubah bung, jangan pake gaya kolot, pikir mereka. Ini sama halnya dengan soal poligami, ada orang baik-baik yang menikah lagi, malah dianggap satu hal negatif. “ustadz koq istrinya dua” nah lho! Yang lebih parah lagi kadang-kadang ditambahi gelar “tukang kawin”. Eh giliran ada yang jelas-jelas selingkuh malah dianggap lumrah dan satu hal yang biasa. Hmmm rupanya ibu-ibu kita nih masih mending suaminya selingkuh ketimbang menikah lagi secara sah dan terhindari dari dosa. Saya kemudian tambah berpikir, mungkin saja propaganda yang pertama ada hubungannya dengan soal poligami ini. Bayangkan, kalau ada seorang wanita yang karena memang jodohnya harus menikah dengan lelaki yang beristri, bukankah itu membuka peluang terlahirnya generasi-generasi baru yang baik, karena berasal dari rahim yang baik serta ‘bibit’ yang baik pula. Jadi, jelas ini bukan lagi rekayasa, tapi meningkat menjadi konspirasi rekayasa untuk membatasi pertumbuhan generasi muslim di negara kita. Entahlah, masih perlu dibuktikan. Tapi yang jelas, seorang teman saya baru saja menikah (lagi) bertambah rezekinya. Katanya, sekarang ini dia sangat sibuk untuk memenuhi jadwal menjadi pembicara di berbagai kesempatan dan tempat dengan tema “poligami”. Hmmm …

Sebab, di negara tetangga kita Malaysia baru-baru ini ada satu kebijakan yang dikeluarkan oleh komunitas etnis Tionghoa di negeri Jiran itu yang merasa khawatir dengan berkurangnya populasi etnis mereka. Maka keluarlah satu anjuran untuk melahirkan banyak anak dengan janji bonus dan biaya perawatan anak keempat dan seterusnya. Slogan yang cukup terkenal disana kurang lebih berbunyi, Satu sangat sedikit, Dua masih kurang, Tiga belum cukup, Empat perlu ditambah. Saya jadi teringat dengan Ustadz yang pernah saya tanya agar pindah saja ke Jiran kita itu agar anak ke lima sampe ke delapannya mendapatkan biaya perawatan yang jumlahnya tidak kurang dari 4juta rupiah per anak. Eh, dia malah nyengir dan nanya ke saya, “anak ente udah berapa?” nah lho, “ini mah nggak ada hubungannya dengan anak saya tadz!” saya jawab begitu “lagi pula anak saya cuman dua”.

Justru itulah, pelajaran baru lagi nih, Ustadz itu cuma bilang, orang-orang yang anaknya banyak, sesuai janji Allah, Dia tambahkan rezekinya. “lalu bagaimana dengan mereka yang menikah lagi tadz?” tanya saya. “Ente lucu … kalau nambah anak aja nambah rezeki gimana lagi kalau nambah orang yang bisa ngasih ente anak” nah lho … “Ustadz sendiri kenapa nggak nambah he he … istri?” saat menanyakan ini, saya harus melirik tidak ada bu ustadz di ruangan tamunya. Tapi, ustadz malah memberikan jawaban yang misteri buat saya, menurutnya, dia (terutama istrinya) untuk sementara belum mau nambah rezeki dari situ, katanya, biarlah rezekinya untuk sementara nambah dari bertambahnya jumlah anak mereka.

Sudahlah, berapapun anak anda, berapapun istri anda, saya acungi jempol. Untuk sementara saya yang masih beranak dua ini cukup sabar dengan rezeki yang saya dapatkan. Sambil terus berteriak-teriak kepada sahabat-sahabat saya yang bahkan sekedar ‘melirik’ seseorang untuk diajak menciptakan lubang-lubang rezeki baru pun belum dilakukannya. Paling-paling setiap bertemu mereka, sambil memamerkan dua anak saya, acungan jempol tangan terbalik kebawah senantiasa saya arahkan ke mereka. Wallahu’a’lam bishshowaab.

sumber : eramuslim.com

Tidak ada komentar:

sekolahbisnis.com