--- AHLAN WA SAHLAN, SELAMAT DATANG DI NIKAH.COM, KAMI HADIR SEBAGAI SAJIAN UNTUKMU YANG AKAN MENIKAH DAN TELAH MENIKAH, SERBA-SERBI DALAM KELUARGA DAN ANAK-ANAK ---

Minggu, Februari 20, 2011

Ketika "Recehan" Begitu Berharga


oleh : Nur Afif En., S.Pd.T.

nikah.com;
Coba perhatikan bagaimana anak-anak saat makan! Adakah pertanyaan di dalam benak kita, mengapa mereka makan hingga berantakan? Tentu jawaban yang paling mendekati benar (atau memang itulah jawabannya) adalah : karena mereka sedang belajar. Lalu apa halnya jika yang makan adalah orang dewasa dengan akal yang sehat di dalam kepalanya. Tentu jawaban yang mungkin menyatakan bahwa orang tersebut “jorok”. Bagaimana lagi jika makanan yang seharusnya habis kemudian “disisakan”. Bagi orang “kaya” mungkin bukan suatu masalah besar, namun untuk orang miskin dengan kondisi serba kurang tentu akan menjadi masalah besar. Mubazir orang yang menyisakan makanan kemudian dibuang begitu saja.


Coba sejenak kita renungkan, manakala kita hari ini makan, dengan kondisi berlebihan yang pada akhirnya menyisakan makanan yang seharusnya dapat dimakan oleh orang yang lebih membutuhkan. Kemudian tiba-tiba kita berada di tengah-tengah kondisi dimana tidak ada makanan sama sekali. Apakah kita tidak memikirkan makanan yang tersisa kemarin, yang kemudian terbuang begitu saja, “andai saja kemarin aku tidak menyia-nyiakan makanan, mungkin...?”.

Ini hanya sebuah contoh dari kehidupan kita mungkin disekitar kita. Contoh tersebut kadang-kadang nyata kita alami, atau orang lain yang mengalami sementara kita melihatnya begitu saja. Contoh kecil ini seharusnya menjadi pelajaran bagi kita yang mau berfikir.

Di saat kita “kaya”, dengan isi dompet yang luar biasa banyak, berlapis-lapis, berwarna-warni. Kita mencabutnya satu lembar warna merah dengan gambar Proklamator. Kita gunakan untuk membayar suatu barang atau jasa, dan kebetulan tersisa dengan beberapa lembar uang kertas yang kumal dan beberapa koin. Pernahkan kita memikirkan koin yang ada di genggaman kita, di dalam kantong kita? Mungkin tidak. Uang koin atau “recehan” mungkin akan terlantar, ada di atas bupet, ada di dalam laci, ada di atas kusen, ada di sela-sela baju, ada di dasar kolam, ada di kotak sabun kamar mandi, yang jelas tidak di dalam otak kita.

Suatu ketika ada pengemis, gelandangan, tukang minta-minta menyodorkan tangan berharap kita untuk dapat berbagi dengannya. Kadang tanpa berpikir panjang dari mulut kita terlepas empat kata, “maaf gak ada recehan”. Mengapa? Bukankah begitu banyak recehan yang kita telantarkan, hanya gara-gara nilainya yang kecil? Sementara lidah kita mengingkarinya dengan rangkaian kata memelas, “maaf gak ada recehan”.

Hingga suatu saat kita mengalami masa yang sulit, lembaran yang warna-warni yang biasanya menghuni dompet kita, kini tidak lagi terlihat. Hanya seberkas surat-surat yang mungkin kita anggap penting yang masih bertahan, betah menghuni dompet kita. Hingga suatu saat brangkas di rumah kita mulai nyaring bunyinya. Hingga suatu saat kita membutuhkan kopi dan gula sebagai teman duduk. Hingga suatu saat anak-anak minta dibelikan kue di warung sebelah. Hingga suatu saat kita menginginkan “kerupuk” untuk lauk makan kita sebagai teman dari sambal dan sepotong sayur mentah diantaranya. Hingga suatu saat kita mulai mencari recehan yang tadinya kita mengatakan “maaf gak ada recehan”.

Kita kemudian melakukan searching di dalam otak kita, “dimana lagi recehan yang kemarin berada?” -sambil menggaruk kepala tanpa rasa gatal-. Ketemu, kemudian kita mengumpulkannya. Sejenak kemudian kita pergi ke warung manakala nilainya kita anggap cukup untuk membeli “kerupuk”, lebihnya buat beli kue untuk anak-anak. Masalah kopi nanti saja, “kerupuk” lebih penting, kue untuk anak juga lebih penting.

Ini sebuah kenyataan yang juga sering terjadi pada kita, selain contoh di atas. Lalu, pernahkan kita memikirkannya lebih dalam lagi? Seharusnya “ya”.

Coba kita fikirkan dengan yang namanya “MASA”, waktu. Andai waktu nasibnya seperti recehan, mungkin kita tidak akan menyesalinya. Artinya, ketika sedikit waktu yang pernah kita sia-siakan kemudian dapat kita kumpulkan lagi untuk diakumulasikan menjadi waktu yang lebih berharga sehingga kita dapat memanfaatkannya lagi. Tapi rupanya “sang waktu” tidak mau disamakan dengan recehan di atas.

Sang waktu akan pergi begitu saja, ketika sang empunya menyia-nyiakannya. Dia akan pergi meninggalkan kita begitu saja, tidak pernah kemudian memanggil kita untuk menunggu. Sementara kita tidak menghiraukan, sang waktu makin tidak terlihat dan kandang terlupakan di belakang kita.

Ada sebuah rangkaian pertanyaan yang mungkin pernah ditanyakan oleh orang bijak, guru ngaji, orang tua, guru sekolah atau siapa saja. Pertanyaannya adalah:

"Apa yang selalu engkau dekati selama hidup di dunia ini? Lalu, apa yang selalu engkau jauhi selama hidup di dunia ini?"

Yang selalu kita dekati selama ini adalah "MAUT", tiap langkah, tiap detik kita berjalan, maka tidak ada tujuan lain selain mendekati maut. Yang selalu kita jauhi selama ini adalah "WAKTU", tiap detik yang pernah kita tinggalkan maka semakin jauh dia ada di belakang kita, tidak akan pernah kita menemuinya lagi.

Andai saja kita tidak menyia-nyiakan WAKTU...?

Tidak ada komentar:

sekolahbisnis.com